Senin, 04 Maret 2013

TULISAN TENTANG DEMOKRASI

Nasib Syariah Islam dalam Jebakan Demokrasi Anis Matta pernah menulis bahwa demokrasi, bukanlah agama yang berbicara tentang halal dan haram. Demokrasi adalah konsep politik yang hanya bicara soal legal dan tidak legal. Untuk itulah dalam bahasa Anis Matta, diperlukan usaha agar yang ‘halal’ dalam agama menjadi legal dalam pandangan hukum postitif, dan apa yang ‘haram’ dalam pandangan agama menjadi tidak legal pula dalam pandangan hukum positif itu. Jika hal ini tercapai maka sebetulnya produk hukum yang dihasilkan oleh demokrasi justru mencerminkan berlakunya kedaulatan Tuhan dalam kehidupan bernegara. Demikianlah apa yang tertulis dalam sebuah catatan seorang intelektual muda yang percaya bahwa sistem demokrasi bukanlah sesuatu yang layak untuk dipertentangkan dengan Islam. Dia berpandangan demikian kurang-lebih karena alasan berikut: Keputusan formal yang dilahirkan dan diberlakukan sebagai hukum positif oleh sistem demokrasi tidak bisa disetarakan dengan hukum halal-haram yang menjadi domain agama. Sebab, demokrasi tidak memberi wewenang bagi negara untuk menentukan halal dan haram -yang merupakan urusan Tuhan. Negara sekedar menentukan mana yang legal dan mana yang tidak legal. Ketika proses politik dalam sistem demokrasi menghasilkan produk hukum atau keputusan yang berbeda dengan syara’, bukan berarti sistem demokrasi menghalalkan apa yang telah diharamkan oleh Allah atau mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah. Jadi, demokrasi sama sekali tidak menyentuh wilayah yang menjadi wewenang Tuhan, dan juga tidak menganulir hukum-hukum yang berlaku dalam agama. Yang halal tetap halal meskipun tidak legal, dan yang haram tetap haram meskipun dilegalkan oleh negara. Dari sinilah kemudian beliau berkesimpulan bahwa demokrasi akan sejalan dengan “kedaulatan tuhan” jika saja proses politik yang terjadi dalam sistem tersebut menghasilkan keputusan hukum yang cocok dengan ketentuan halal-haram dalam agama. Maka adalah penting untuk berjuang dalam kancah sistem demokrasi agar yang dihalalkan Allah menjadi legal dan yang diharamkan oleh Allah menjadi tidak legal. Begitulah kira-kira jika membahasakan ulang apa yang ingin diungkapkan oleh intelektual muda kita ini. Mungkin akan ada juga yang mengatakan bahwa negara yang mayoritas penduduknya muslim akan bisa menjalankan demokrasi secala islami, karena jika sebagian besar warganya muslim, tentu aspirasi masyarakatnya juga tidak akan menyimpang dari Islam. Dari sini juga ada pandangan apolojetik, dengan ungkapan seandainya umat Islam menguasai parlemen maka akan dengan mudah umat Islam menerapkan Syariah Islam. Untuk meng-counter balik dua asumsi tersebut tentang kemungkinan peluang demokrasi memberikan jalan lempang bagi penerapan Syariah Islam. Terlebih dahulu, mari kita kembali mencermati esensi demokrasi serta latar belakang lahirnya demokrasi tersebut. Pada pembahasan sebelumnya telah dipapar secara panjang lebar bahwasanya demokrasi lahir sebagai alat dari ideologi sekulerisme, untuk memisahkan peran agama dari pengaturan kehidupan sosial masyarakat. Kelompok penggagas sekulerisme memandang demokrasi sebagai sesuatu yang cocok untuk itu. Sebab ide dasar sekulerisme adalah menetapkan kedaulatan berada di tangan rakyat. Bukan Tuhan atau mengatasnamakan agama dalam membuat hukum. Tetapi bagi demokrasi rakyatlah yang berhak membuat hukum untuk mengatur peri kehidupan sosialnya dengan karakter liberalisme yang menderivasinya. Jadi kalau pandangan Anis Matta, demokrasi bukanlah agama yang berbicara tentang halal dan haram. Demokrasi adalah konsep politik yang hanya bicara soal legal dan tidak legal. Saya kira pendapat tersebut, sangat lemah. Mungkin Anis Matta lupa, kalau demokrasi memang didesain oleh para penggagas demokrasi agar agama, terutama Syariah Islam, tidak mengintervensi kehidupan sosial masyarakat. Artinya, demokrasi didesain memang tidak untuk memberikan peluang bagi Syariah Islam untuk menjadi hukum yang mengatur kehidupan sosial masyarakat. Malah secara ekstrim bisa dikatakan, penerapan Syariat Islam dipandang sebagai bertentangan dengan esensi demokrasi itu sendiri, tepatnya penerapan Syariat Islam contradictio in terminis dengan demokrasi. Agar tdak membingungkan saya ulangi lagi kata-kata Anis Matta... bahwa demokrasi akan sejalan dengan “kedaulatan tuhan” jika saja proses politik yang terjadi dalam sistem tersebut menghasilkan keputusan hukum yang cocok dengan ketentuan halal-haram dalam agama. Maka adalah penting untuk berjuang dalam kancah sistem demokrasi agar yang dihalalkan Allah menjadi legal dan yang diharamkan oleh Allah menjadi tidak legal...., bagi kalangan awam yang mencermati kata-kata Anis Matta tersebut, bisa terkesan demokrasi tampak bisa menjadi “alat yang halal” bagi penerapan Syariat Islam di suatu wilayah tertentu, apalagi kalau parlemen dikuasai oleh mayoritas Muslim. Sekali lagi menurut saya pernyataan tersebut, sangat imajinatif atau kalau boleh dibilang berangkat dari pernyataan yang keliru dan serampangan. Kalau toh penerapan Syariat Islam hendak dipaksakan berlaku melalui jalur sistem demokrasi melalui strategi mendudukkan suara mayoritas wakil-wakil Islam di parlemen. Maka upaya tersebut, tentu saja pasti dipandang sebagai suatu upaya untuk merusak hakikat demokrasi itu sendiri. Artinya, sistem demokrasi tidak bisa diharapkan untuk diterapkan dalam sebuah negara yang ingin mengaplikasikan Islam secara sempurnya. Karena antara sistem demokrasi dengan sistem Islam memang berbeda jauh ibarat bumi dan langit. Sederhananya begini, saya memberikan analogi, taruhlah ditemukan sebuah mesin pengolah susu agar kualitas susu menjadi baik. Kemudian ada lagi mesin pengolah kopi. Tentu saja untuk mengolah susu berkualitas baik dipakailah mesin pengolah susunya. Salah alias keliru ketika kita hendak mengolah susu yang berkualitas dengan menggunakan mesin pengolah kopi. Jika diibaratkan mesin, tatkala dalam kondisi yang baik dan dijalankan dengan prosedur yang benar, sistem demokrasi lebih sering menghasilkan produk gagal daripada produk yang kita kehendaki. Kesalahan bukan terjadi dalam menjalankan prosedur operasional mesin, tapi kesalahan terjadi saat memilih mesin –yang tidak cocok dengan produk yang ingin dihasilkan. Artinya, kesalahan tidak terjadi pada saat kita menjalankan demokrasi, tapi justru terjadi ketika kita memilih demokrasi untuk selalu menghasilkan kebijakan yang syar’i, padahal demokrasi tidak didesain untuk itu. Sekali lagi sistem demokrasi sebagai sebuah sistem politik yang berpijak dari suatu pandangan hidup yang khas yang tidak akan mungkin memberikan peluang tegaknya Syariat Islam. Semua orang pasti mengerti WC tetaplah tempat semua orang untuk membuang kotoran, kendati WC dibersihkan sebersih-bersihnya, ia tetaplah jamban dengan definisi tempat orang membuang tinja. Semua muslim tidak akan terima ketika ada sekelompok orang membangun WC tempat membuang tinja kemudian dibersihkan sebersih-bersihnya, tidak hanya itu diberikan pengharum untuk mengantisipasi bau tinja yang menyeruak. Lalu sekelompok orang tadi berkata “mesjid sudah kotor tidak layak pakai”, sebaiknya kalian kaum muslimin sholat saja di WC karena lebih bersih dari mesjid. Siapapun muslim yang tahu tentang fiqih syarat sahnya solat pasti tidak mau sholat di WC meskipun bersih, sebab bagaimanapun juga WC adalah tempat najis. Dalam suatu kisah pernah suatu ketika Umar bin Khattab dengan pasukannya menaklukkan suatu wilayah Kristen, kemudian seorang pendeta menawarkan gereja sebagai tempat bagi pasukan Umar untuk melakukan sholat berjamaah, tawaran tersebut meskipun baik namun tetap ditolak oleh Umar bin Khattab ra. Ia lebih memilih sholat berjamaah dengan pasukannya di lapangan terbuka. Begitulah analoginya dengan demokrasi. Kaum muslim tentu tidak akan menggunakan sistem demokrasi sebagai sistem yang layak dalam rangka memperjuangkan Syariat Islam. Selain demokrasi pada esensinya bertentangan dengan Syariat Islam juga sistem demokrasi akan menolak tegas dengan diberlakukannya Syariat Islam. Jurang antara demokrasi dengan Islam terasa lebih lebar lagi ketika kita membahas standard yang digunakan oleh sistem demokrasi untuk mengukur kebenaran. Kebenaran praktis menurut demokrasi adalah suara umumnya masyarakat, yang oleh Rouseau disebut sebagai la volonte generale (general will/kehendak umum) . John Locke , yang oleh para akademisi dianggap sebagai salah satu tokoh utama peletak prinsip dasar demokrasi, menyatakan dalam salah satu magnum-opusnya, Second Treatise : “Jadi setiap orang -dengan membuat perjanjian bersama orang lain untuk membentuk suatu badan politik di bawah satu pemerintahan- bersama orang lain dari masyarakat tersebut, menempatkan dirinya di bawah kewajiban untuk tunduk pada keputusan mayoritas dan diatur olehnya“. Para penganjur demokrasi, seperti Locke, tidak punya pilihan lain untuk mengukur kebenaran kecuali dengan kehendak mayoritas. Sebab, sebagai seorang penganut empirisme, Locke percaya bahwa nilai kebaikan itu bersifat empiris, objektif dan bisa ditangkap oleh semua manusia secara universal. Locke percaya bahwa akal budi manusia layak menjadi hukum karena ia membawa karakter keTuhanan. Lebih dari itu, mereka tidak percaya jika kebaikan itu harus didekte oleh sesuatu yang tidak rasional, seperti klaim-klaim dari otoritas keagamaan. Namun, ketika dalam kenyataannya manusia itu sering kali berbeda pendapat, faham relativisme kebenaran menjadi konsekuensi yang tak terelakkan. Maka, asumsi dasar bahwa kebenaran itu bersifat relatif selalu tidak bisa dilepaskan dari sistem demokrasi. Sehingga, suara terbanyaklah yang menjadi penentu. Itulah mengapa, Ebenstain menyatakan bahwa empirisme rasional yang berbuntut pada relativisme kebenaran- menjadi kriteria dan dasar psikologis bagi demokrasi. Lantas bagaimana dengan keberhasilan penerapan perda-perda syariah atau semisal keberhasilan penerapan qanun syariah di Provinsi Aceh Darussalam, bukankah ini merupakan bukti keberhasilan kaum muslim Indonesia untuk memanfaatkan demokrasi dalam rangka penerapan Syariah Islam? Kalau fakta politik menunjukkan keberhasilan penerapan perda-perda Syariat dimaksud, ini tidak berarti demokrasi telah menghalalkan atau memberikan peluang bagi tegaknya Syariah Islam. Sebab sekali lagi sistem demokrasi memang tidak ditujukan untuk itu. Yang dapat dianalisis adalah hal tersebut hanya merupakan sebuah proses politik yang lazim dalam sebuah sistem demokrasi yang tidak lain adalah untuk menghindari untuk sementara waktu terjadinya chaos politik di tengah masyarakat yang berkeinginan penerapan Syariat Islam yang dalam kacamata politik demokrasi secara strategis dapat mengganggu proses keberlangsungan demokrasi di suatu wilayah (Indonesia). Penerapan Syariat Islam itu juga sebetulnya merupakan upaya “tambal sulam” untuk menutupi bobrok demokrasi agar demokrasi tampak manis, tampak elok, tampak indah dimata kaum muslimin. Padahal sejatinya demokrasi adalah jalan setan yang merusak Islam. Lagi pula penerapan Syariat Islam melalui jalan demokrasi tersebut dalam perspektif Aqidah Islam, merupakan sesuatu yang batil. Sebab standar kebenaran yang digunakan oleh sistem demokrasi sebagai standar yang sah atau benar yaitu karena didasarkan kepada kehendak mayoritas rakyat. Jelas pandangan itu keliru, menerapkan Syariat Islam bukanlah didasarkan kepada standar suara mayoritas. Namun standar kebenaran yang dijadikan dasar oleh Islam tentang kewajiban menerapakan Syariat Islam adalah karena memang perintah dari Allah SWT melalui kitab sucinya Al-qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW. Bukan karena tuntutan suara mayoritas rakyat. Dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah adanya kewajiban penguasa untuk selalu mengeluarkan keputusan atas dasar hukum syara’ dan tidak mengikuti aspirasi siapapun yang menyimpang dari hukum-hukum syara’. Jika penguasa menyimpang dari ketentuan pokok ini, maka dia bukan hanya menyalahi hukum syara’, tapi juga menyalahi ketentuan dasar (konstitusi) Negara Islam. Allah SWT berfirman: {فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ} Maka hukumilah (perkara) di antara mereka dengan apa yang diturnkan oleh Allah, dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu mereka (untuk berpaling) dari kebenaran yang telah datang kepadamu, (Al Maidah ayat 48) {وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ} “Dan hendaklah kamu putuskan (perkara) di antara mereka dengan apa yang diturunkan oleh Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (sehingga mereka) memalingkan kamu dari sebagian (hukum) yang diturunkan Allah kepadamu. Sehingga jika kalian berpaling maka ketahuilah bahwa Allah tidak berkehendak lain kecuali akan menimpakan (hukuman) karena dosa-dosa kalian. Dan sesungguhnya sebagian besar dari manusia itu benar-benar orang-orang yang fasik, (Al Maidah ayat 49) Kedua ayat ini memberi perintah tegas kepada Nabi -yang waktu itu berperan sebagai penguasa- untuk memutuskan suatu permasalahan dengan hukum yang diturunkan oleh Allah. Kata uhkum merupakan fi’l amr, dari hakama-yahkumu, yang menurut kamus Al Munawir artinya adalah menetapkan atau memutuskan (qorroro). Maka dari itu, tidak bisa dikatakan bahwa ayat ini merupakan perintah kepada Nabi saw untuk menjelaskan dan menyatakan secara tegas bahwa yang halal adalah halal dan yang haram adalah haram semata, akan tetapi, ayat di atas justru memberi perintah kepada Rasulullaah saw untuk mengeluarkan keputusan hukum formal sesuai dengan apa yang diturunkan Allah (hukum syara’). Maka dari itu, dalam menjelaskan kalimat “fahkum bainahum bimaa anzalallaah” itu, Ibnu Katsir mengatakan : “berilah keputusan hukum wahai muhammad di tengah-tengah manusia, baik Arab maupun non-Arab, baik kalangan yang ummi maupun ahli kitab, dengan apa yang diturunkan oleh Allah. Imam Ath Thobari mengatakan: “ini adalah perintah Allah Ta’ala, peringatanNya untuk nabiNya, Muhammad saw, agar beliau memberi keputusan hukum terhadap pihak-pihak yang minta keputusan hukum kepada beliau -dari kalangan ahli kitab dan penganut semua agama yang ada- dengan menggunakan kitab yang Allah turunkan kepada beliau. Terlebih lagi, sebab turunnya ayat ini terkait dengan pemberian putusan hukum kepada non-muslim, yakni orang yahudi yang melakukan zina dalam keadaan muhshon (telah menikah). Ketika ia dibawa ke hadapan Rasulullah saw, Allah memerintahkan beliau untuk menghukumnya dengan hukum yang turun kepada beliau, yakni rajam. Atas dasar itu, tidak mungkin jika ayat ini dikaitkan dengan masalah penghalalan dan pengharaman, karena Rasulullah saw tidak berkepentingan terhadap urusan halal-haram dalam agama lain. Tapi, sebagai penguasa, beliau berkepentingan untuk menegakkan hukum yang berlaku secara formal kepada seluruh manusia yang hidup dalam yurisdiksi Negara Islam. Dalam konteks inilah, Allah memerintahkan beliau untuk memberi keputusan hukum berdasarkan syari’ah Islam. Perintah tersebut, meskipun tertuju kepada Nabi saw, namun juga berlaku kepada seluruh penguasa muslim, sebagaimana dikatakan oleh Al Qurthubi “annal khithoba liNabi ‘alaihis salam khithobun li-ummatihi. Seruan kepada Rasul tersebut adalah juga seruan kepada umatnya), tentu selama tidak ada dalil yang mengkhususkan. Jadi, ini adalah ketentuan legeslasi dan penegakkan hukum di dalam Negara Islam yang harus senantiasa terikat dengan hukum yang diturunkan oleh Allah. Pada sisi lain penerapan perda syariah di Indonesia, tidak bisa disebut sebagai keberhasilan atau kemenangan kaum muslim dalam menegakkan hukum Islam (baca syariah). Sebab pada faktanya, perda syariah yang berlaku di wilayah-wilayah penerapannya di Indonesia, lebih bersifat parsial alias sepotong-sepotong, misalnya di Aceh yang berlaku hanyalah pidana cambuk bagi yang melakukan pidana dan aturan bagi perempuan muslimah untuk menutup aurat seperti kerudung. Di Kabupaten Bulukumba di Provinsi Sulawesi Selatan yang diklaim sebagai keberhasilan penerapan perda Syariat, yang berlagu juga sifatnya sektoral dan sepotong-sepotong yaitu antara lain pelarangan peredaran minuman beralkohol. Tentu saja, terlau naif kalau penerapan Syariat Islam hanya dilihat dari sudut pandang yang sempit sekedar pada penerapan kewajiban berjilbab saja. Sebab keberhasilan penerapan Syariat Islam harus dilihat secara menyeluruh (komprehensif), terintegral, dan sifatnya terpadu. Sebab Syariat Islam tidak hanya mencakup kewajiban sholat, kewajiban menutup aurat, ataupun sekedar melarang peredaran minuman keras. Syariat Islam adalah sebuah sistem yang mencakup semua aspek kehidupan, mulai dari pengaturan aspek ekonomi, pengaturan aspek kehidupan politik, pengaturan aspek pemerintahan dan bernegara, termasuk pertahanan keamanannya (militer). Penerapan Syariat Islam baru bisa dikatakan berhasil apabila Islam sebagai sistem politik dan kenegaraan diberlakukan di tengah-tengah masyarakat. Sangat keliru, kalau Syariat Islam hanyalah kewajiban menutup aurat sementara sistem pergaulan yang berlangsung di tengah masyarakat adalah sistem pergaulan liberalisme, yang justeru bertentangan dengan Islam. Keliru juga kalau keberhasilan penerapan Syariat Islam sekedar pemberlakuan hukum potong tangan bagi para pencuri sementara sistem ekonomi yang berlangsung di tengah masyarakat adalah sistem ekonomi kapitalisme yang membolehkan riba, dan sebagainya. Secara politik, fakta juga menunjukkan penerapan perda-perda syariah dibeberapa wilayah di Indonesia ternyata mendapat tantangan keras dari kaum pengusung sekulerisme dan liberalisme yang dikomandai oleh para antek-anteknya semisal Jaringan Islam Liberal (JIL). Kelompok sekulerisme menentang keras penerapan perda-perda syariah tersebut malah dianggap bahwa perda-perda syariat dianggap sebagai perda-perda yang bermasalah tidak sesuai konstitusi, dianggap melanggar Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Malah pemberlakuan Undang-Undang Anti Pornografi oleh para pejuang feminis-sekuler, digugat keberadaannya melalui Mahkamah Konstitusi sebab dianggap melanggar kebebasan berekspresi sebagai salah satu pilar berdirinya sekulerisme. Derasnya tantangan dari kaum sekuleris serta desakan untuk mencabut perda-perda syariah karena dipandang sebagai perda bermasalah, menurut pendapat penulis, secara politik bisa dikatakan penerapan Syariah Islam belum berhasil di Indonesia. Logikanya, seharusnya Perda-Perda Syariah tidak boleh ada penolakan sebab dengan berpijak dengan standar suara mayoritas ala demokrasi, penerapan perda syariah merupakan hak kaum muslim Indonesia sebagai pemilik sah suara mayoritas yang menginginkan Islam di terapkan sebagai bahagian dari perilaku kehidupan sosialnya. Sejarah juga tidak bisa dibohongi, betapa sistem demokrasi telah berbuat curang kepada kaum muslimin. Contoh di Indonesia masa rezim Presiden Soekarno pada Tahun 1955 kaum muslimin melalui Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), berhasil menang dalam pemilu, sehingga secara mutlak kaum muslimin Indonesia memegang suara mayoritas di parlemen yang saat itu bernama Dewan Kostituante. Kekhawatiran Soekarno yang sekuler, jangan sampai umat Islam berhasil menang merubah Negara Republik Indonesia menjadi negara Islam. Soekarno yang berkolaborasi dengan TNI AD saat itu, mengeluarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 untuk membubarkan Dewan Konstituante. Sebab Dewan Konstituante dianggap tidak sejalan dengan pandangan politik Soekarno. Sehubungan dengan itu, Adnan Buyung Nasution, Advokat Senior Indonesia, mengungkap secara gamblang tentang keberadaan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang dikeluarkan oleh Soekarno, sebagaimana dikutip oleh Artawijaya sebagai berikut: “Adnan Buyung Nasution, misalnya, mengatakan dekrit tersebut merupakan bagian dari intervensi Soekarno terhadap Konstituante dengan cara membubarkan majelis tersebut. Bagi Buyung, pandangan selama ini yang mengatakan bahwa Konstituante gagal adalah keliru. Konstituante bukannya gagal, tapi digagalkan, tegasnya. Padahal konstituante sebagai lembaga yang berdaulat, dipilih langsung oleh rakyat, benar-benar mewakili rakyat secara keseluruhan. Karena itu dekrit yang dikeluarkan Soekarno adalah bagian dari intervensi, disaat para anggota konstituante belum sempat menyelesaikan tugasnya.” Contoh diatas menjadi pelajaran bagi kita kaum muslimin, meskipun kita kaum muslim menguasai parlemen sampai pada level mayoritas suara, katakanlah 100 persen menguasai parlemen. Tentu ada cara lain bagi demokrasi untuk menggagalkan upaya-upaya kaum muslimin menerapkan Syariat Islam. Sejatinya demokrasi akan senatiasa berbenturan vis a vis dengan Syariat Islam. Kemenangan Partai Islam FIS di Aljazair dalam pemilu anggota parlemen, terpaksa harus dikudeta oleh pihak militer karena dianggap upaya partai FIS yang menguasai kursi parlemen di atas 90 persen, guna menerapkan Syariat Islam atau mengubah konstitusi Aljazair menjadi konstitusi Islam sangat bertentangan dengan ajaran demokrasi.

Selasa, 19 Juni 2012

Kepergian Professor Achmad Ali, Sang Realis Hukum Oleh: Muh Sjaiful SH MH Dosen Fakultas Hukum Unhalu Kemarin dulu Minggu 17 Juni, saya dikejutkan sebuah berita dari seorang teman yang kini sedang menempuh Program Doktor Hukum di Universitas Hasanuddin, melalui ponsel, teman saya itu mengatakan bahwa Professor Achmad Ali, Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, telah berpulang kerahmatullah, sekitar pukul 9.15 WIT di Makassar. Saya yang pernah menempuh pendidikan hukum di Universitas Hasanuddin, mulai strata satu (S1), sarjana hukum, sampai strata dua (S2), magister hukum, memang cukup akrab dengan pemikiran-pemikiran hukum almarhum, baik melalui beberapa perkuliahan yang saya ikuti maupun lewat tulisan-tulisan almarhum yang dipublikasikan dalam bentuk buku serta artikel tingkat regional maupun nasional. Salah satu pemikiran hukum almarhum yang membuat saya terkesan yaitu pemikiran tentang konstruksi hukum nasional Indonesia yang semestinya mentransformasikan nilai-nilai relijiusitas, karena menurut almarhum, masyarakat bangsa ini adalah mayoritas memegang teguh keyakinan relijiusitas. Lantas almarhum juga pernah mengkritik pedas konstruksi hukum nasional kita yang masih mengadopsi hukum barat yang sekuler, seperti yang tampak dari produk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai produk warisan Kolonial Belanda, yang hingga saat ini masih berlaku. Menurut almarhum, kontur sekulerisme KUHPidana kita tampak antara lain dari pemuatan perbuatan zinah dalam Pasal 284 KUHPidana, yang menetapkan bahwa zinah (overspel) sebagai perbuatan pidana jika salah satu pasangan yang melakukan hubungan seksual secara tidak sah, telah terikat perkawinan sah dengan orang lain. Kata Almarhum Prof AA, begitu sapaan kepada beliau semasa hidupnya, kultur hukum masyarakat bangsa ini yang mayoritas muslim, tetap memandang hubungan seksual yang tidak sah antara laki-laki dengan perempuan, baik terikat perkawinan dengan orang lain maupun tidak, tetap dipandang sebagai perbuatan kriminal atau kejahatan. Disinilah titik krusial KUHPidana produk warisan Kolonial Belanda yang sudah tidak relevan dengan kultur hukum masyarakat Indonesia yang relijius. Sehingga secara sosiologis, kata almarhum, sesuai cita rasa dan nilai-nilai hukum sebagai hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat bangsa ini, sangat rasional bila konfigurasi hukum bangsa ini mentrasformasikan secara formal nilai-nilai hukum yang mengedepankan relijiusitas. Satu lagi pemikiran hukum almarhum, adalah menyangkut keterpurukan hukum negeri ini yang masih menjadi fenomena yang menghadang. Pada akhirnya semakin menggerus perasaan keadilan bagi para pencari kebenaran hukum. Menurut almarhum, salah satu soalnya adalah masih bersarangnya para penegak hukum bermental keropos. Para penegak hukum demikian, sejatinya merupakan “sapu-sapu kotor” (the dirty sweeps) yang bercokol di lembaga-lembaga peradilan serta lembaga penegakan hukum lainnya. Ketika mencermati realitas sosial keterpurukan penegakan hukum negeri ini yang ditenggarai mangkraknya aparat hukum berlabel sapu-sapu kotor, sebagaimana menjadi kegalauan almarhum, barangkali juga ia sebagai guru besar hukum, tidak hanya melihatnya sebagai persoalan personalitas tetapi lebih kepada persoalan yang lebih sistemik yang mengemuka sebagai sebuah realitas sosial. Persoalan sistemik yang ia maksud adalah kegandrungan pemikiran liberal serta materialistik yang masih mengkooptasi sebahagian besar pemikiran bangsa ini yang tentu berekses kepada cara berpikir para aparat hukum bangsa ini kepada kecenderungan materialistik. Almarhum Professor Achmad Ali, yang pernah dicalonkan Jaksa Agung RI semasa Presiden Megawati Soekarno Putri, menurut pendapat penulis, adalah seorang realis hukum. Sebab konsentrasi pemikiran hukumnya lebih mengelaborasi kepada hukum dalam perspektif sosiologis. Yaitu pemikiran hukum yang mencermati hukum dalam tataran prilaku masyarakat serta faktor-faktor sosial lainnya yang mempengaruhi penegakan hukum terutama dalam konteks masyarakat Indonesia. Konsistensi almarhum sebagai seorang realis hukum begitu kukuh, sehingga tatkala menjadi anggota Komnas HAM RI periode 2001-2007, ia begitu getol menyuarakan perang terhadap korupsi, yang menurutnya baik secara langsung maupun tidak langsung, korupsi adalah malapetaka terbesar negeri ini yang sama bahayanya dengan penyalahgunaan narkoba. Saking getolnya almarhum semasa hidupnya menyatakan perang terhadap korupsi, ia pernah mengusulkan hukuman mati bagi para koruptor kelas kakap. Suatu ketika almarhum pernah ditanya tentang hukum pidana Islam oleh salah satu tabloid mingguan nasional, almarhum serta merta menyatakan respektasinya yang tinggi kepada sanksi pidana dalam hukum Islam, sebab menurutnya ketegasan dan kekerasan sanksi dalam hukum pidana Islam, seperti para pencuri dipotong tangannya atau para koruptor kelas kakap yang harus dibuang jauh alias diasingkan ke suatu tempat tertentu, sangat menjamin keampuhan hukum serta membuat jera bagi setiap para pelanggar hukum. Demikian beberapa pemikiran sang realis hukum yang telah pergi meninggalkan dunia ini, dalam usia 59 tahun lebih, ia pergi untuk menghadap Sang Khalik Pencipta semesta alam. Menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Pendidikan Makassar, ia terkena penyakit diabetes yang sudah lama dideritanya. Almarhum Professor Achmad Ali, semasa hidupnya sangat bersahaja dengan kehidupan yang sederhana, seingat saya ia tidak punya harta melimpah, konon mobil pun yang ia miliki hanyalah mobil dinas dekan ketika menjabat dekan Fakultas Hukum Unhas selama dua periode. Selepas menjabat dekan, ia tidak punya mobil lagi. Kata orang dekatnya, almarhum hanya meninggalkan rumah sederhana yang terletak di Kompleks Perumahan Dosen Unhas, serta sebidang tanah 1 hektar yang dihibahkan rektor Unhas kepada almarhum. Konon tanah tersebut dibiarkan begitu saja lantaran almarhum tidak punya cukup uang untuk memagarinya serta membeli bibit tanaman untuk diolah. Tampaknya Almarhum Professor Achmad Ali, begitu menikmati sebagai seorang idealis dan ilmuwan hukum, Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Rojiun. (*)

Jumat, 03 Februari 2012

CATATAN HUKUM

Ruang Rapat DPR 20 M
Oleh: Muh Sjaiful SH MH
Anggota DPR RI yang duduk di panitia anggaran, sekali lagi harus menghadapi hujatan dari masyarakat Indonesia, terkait dengan pengerjaan rehabilitas ruang rapat DPR RI yang bertengger pada angka 20 miliar rupiah. Angka tersebut, memang boleh dibilang sangat fantastis, di tengah kondisi rakyat bangsa ini yang sedang diterpa himpitan ekonomi yang cukup akut, yang ditandai dengan angka kemiskinan cukup tinggi termasuk sulitnya mencari lapangan kerja bagi jutaan angkatan kerja di negeri ini.
Pengrehaban ruang rapat DPR dengan angka anggaran 20 M, memang patut mencurigakan, sebab aroma korupsi bisa terendus dengan mendasarkan pada logika bahwa barangkali anggaran sebanyak itu sangat mubasir digunakan untuk sekedar rehabilitasi ruang rapat.
Mungkin bagi Marzuki Alie, bisa berkelit dengan dalih tidak mengetahui secara persis teknis rincian kucuran anggaran yang lumayan besar itu. Artinya, Marzuki Ali akan melempar tanggungjawab, bahwa teknis anggaran yang dikucurkan untuk kebutuhan DPR, merupakan tanggung jawab pihak sekretaris jenderal yang menangani kebutuhan anggaran rumah tangga DPR, bukan tangung jawab dia yang hanya berkompeten pada persoalan kebijakan politik.
Menarik benang merah untuk menjerat pelaku korupsi dibalik penggunaan anggaran 20 M rehab ruang rapat DPR, memang harus dilakukan secara cermat dan hati-hati. Tetapi sebenarnya tidak begitu sulit. Paling tidak ada pihak-pihak tertentu, yang menurut logika berpikir hukum, bisa ditarik pertanggungjawabannya secara hukum.
Dalam ilmu hukum yang dipelajari sekarang, dikenal teori kesalahan yang disebut “vicarious strict liability”, menurut teori ini, seseorang dapat disebut melakukan kesalahan atau perbuatan pidana, meskipun ia tidak terlibat secara langsung dalam suatu perbuatan yang menyebabkan timbulnya kesalahan tersebut. Kerangka teori ini menjelaskan bahwa seseorang dianggap melakukan kesalahan apabila ia memiliki keterkaitan erat dengan lahirnya perbuatan tersebut.
Dengan menggunakan kerangka teori tersebut, beberapa anggota DPR yang terlibat dalam rapat anggaran penggelontoran dana 20 M untuk pengalokasian rehabilitasi ruang rapat DPR RI, mungkin saja dapat dijerat sebagai pihak yang turut serta bertanggungjawab. Alur berpikirnya, dana 20 M yang digelontorkan, tentu saja sudah melalui mekanisme kebijakan politik anggaran yang disepakati bersama dalam rapat anggaran.
Artinya, pihak-pihak seperti Marzuki Alie, Ketua DPR penentu otoritas kebijakan politik tertinggi di parlemen serta Pius Lustrilanang sebagai Wakil Ketua Anggaran Rumah Tangga dan Perlengkapan DPR RI yang mengeksekusi anggaran, lalu diteruskan secara operasional penggunaan dananya oleh Sekretariat Jendral, tentu saja mereka dianggap tahu tentang penggelontoran dana dimaksud.
Bisa saja Marzuki Alie dan Pius Lustrilanang berkilah, tapi yang harus dipahami bahwa penggunaan anggaran yang sumbernya dari keuangan negara tidak bisa serta merta dibahasakan secara simplikatif bahwa status legislatif hanya untuk urusan politik. Kita tidak boleh lupa kalau lembaga DPR merupakan salah satu lembaga publik yang dalam sistem ketatanegaraan kita juga memiliki tanggung jawab hukum administratif.
Disini saya hendak menjelaskan bahwa ketika para wakil rakyat yang tengah bekerja dalam status sebagai anggota legislatif dalam kerangka tugas yang berkenaan dengan tetek bengek kenegaraan, tidak bisa dikatakan mereka memiliki imunitas hukum atau bekerja dalam koridor yang tidak bisa tersentuh oleh hukum. Jadi ketika Marzuki Alie dan Pius Lustrilanang, dan para anggota DPR yang lain, menggodok uang bancakan 20 M untuk kepentingan rehabilitas ruang rapat DPR RI, keduanya sudah dapat dipandang melakukan kewenangan dalam tataran publik yang harus dimintakan pertanggungjawaban hukumnya secara administratif. Karena sudah jelas anggaran 20 M berasal dari keuangan negara yang penggunaannya berkaitan erat dengan penyelenggaraan publik. Dari sisi pertanggujawaban hukum secara administratif, Marzuki Alie, Pius Lustrilanang, serta siapa saja anggota DPR yang terlibat dalam kesepakatan penggunaan anggaran, dapat dianggap bertanggung jawab. Ini dari sisi hukum administrasi.
Lantas dimana letak pertanggungjawaban pidana untuk menempatkan kerangka penggunaan dana 20 M yang di dalamnya terindikasi penyalahgunaan keuangan negara? Yang pertama harus digeledah, perlu dicari pembuktian dengan melibatkan Badan Pemeriksa Keuangan yang bekerja secara independen dan objektif, guna memastikan proporsionalitas serta rasionalitas penggunaan anggaran 20 M. Artinya, ada tim audit keuangan independen semisal BPK, yang ditunjuk guna memastikan ada tidaknya mark up anggaran rehabilitasi ruang rapat DPR RI.
Bila laporan keuangan BPK dapat membuktikan secara sah dan meyakinkan tentang terdapatnya mark up anggaran rehabilitasi gedung DPR RI, maka berpegang pada teori “vicarious strict liability”, dapat dikatakan terdapat unsur pidana dalam penggunaan anggaran 20 M, yang siapapun harus bertanggung jawab secara renteng terhadap penyalahgunaan anggarannya.
Konsep “vicarious strict liability”, adalah teori kepidanaan yang menetapkan tanggung jawab kesalahan yang harus dibebankan kepada siapa saja yang dianggap tahu dan berada pada siklus terjadinya suatu perbuatan. Sederhananya untuk memahami konsep ini adalah sebagai berikut: Seorang pencuri ketika sedang mengendap-endap memasuki sebuah rumah, kemudian para petugas ronda malam, mengetahui ada pencuri dan tidak berusaha untuk menelpon polisi atau membekap sang pencuri, namun masih asyik main gaple, maka menurut konsep “vicarious strict liability”, para petugas ronda dianggap turut membantu kejahatan pencurian.
Celotehan Marzuki Alie yang berniat melaporkan ke KPK bahwa pemalakan anggaran 20 M murni tanggung jawab Sekretariat Jenderal yang dipandang tahu tentang teknis penggunaan anggaran rumah tangga, maka yang jadi persoalan yaitu Marzuki Alie cs juga termasuk pihak yang meneken hasil rapat porsi anggaran yang digunakan untuk keperluan rehabilitasi gedung DPR. Logikanya, Ketua DPR dan Panitia Anggaran yang meneken hasil rapat penggunaan uang negara, memiliki otoritas kewenangan administratif berapa pagu anggaran yang harus dikeluarkan. Sangat mustahil kalau rapat anggaran hanya membicarakan penggunaan anggaran secara umum tanpa ada detil perincian anggaran, sebab ini menyangkut penggunaan anggaran negara yang peruntukannya adalah untuk kepentingan fasilitas publik.
Beda ceritanya, seandainya dalam rapat anggaran diputuskan penggunaan anggaran sebesar 1 miliar tetapi realisasi anggaran melebihi 1 miliar atau katakanlah menembus angka 20 M, maka tentu saja Marzuki Alie bisa lolos dari jeratan hukum. Yang menanggung kesalahan tersebut adalah pihak pelaksana proyek, taruhlah misalnya dalam hal ini pihak sekretariat jenderal.
Namun persoalannya, mungkinkah seorang Marzuki Alie dan Pius Lustrilanang, tidak tahu menahu penggunaan anggaran 20 M, yang luar biasa banyaknya itu? Karena dalam teknis pencairan anggaran dalam sistem keuangan negara kita, sepengetahuan saya, bahwa dana untuk proyek-proyek strategis, hanya bisa cair apabila sudah ada tanda tangan persetujuan dari pemegang otoritas tertinggi dari suatu lembaga atau institusi.
Apakah mungkin, Marzuki Alie selaku pemegang kuasa anggaran, menutup mata menandatangani persetujuan kucuran dana 20 M yang akan digelontorkan? Atau pertanyaannya begini. Apakah pihak sekretariat jenderal begitu berani memalsukan tanda tangan Marzuki Alie? Tidak ada yang tahu pasti. Hanya Tuhan dan Marzuki Alie yang tahu.

Masih tentang Korupsi

Problematika Pemberantasan Korupsi
Oleh: Muh Sjaiful SH MH
Dosen Fakultas Hukum Unhalu
Ketika Dr Fachmi SH MH, menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sultra, ia langsung membuat gebrakan. Beberapa pejabat dan mantan pejabat Sultra langsung dikerangkeng, atas dugaan tindak pidana korupsi. Malah Kajati Sultra yang baru itu, berencana mengkerangkeng sejumlah kepala daerah di Sultra yang selama ini ditenggarai menguras uang rakyat dan konon merasa aman dari sentuhan hukum. Tak tanggung-tanggung juga, Haekal seorang anak bupati harus menerima nasib dijerat tindak pidana korupsi oleh sang Kajati baru.
Kini sejumlah idealis hukum serta kalangan pejuang hukum di daerah ini, menanti gebrakan dari sang Kajati baru. Mungkinkah gebrakan pemberantasan korupsi yang ditabuh sang Kajati, bisa membawa pencerahan keadilan bagi masyarakat yang sudah lama mengimpikan Sultra bebas korupsi, ataukah justru sebaliknya, gagasan pemberantasan korupsi hanya mengulang lagu lama, yaitu sekadar nyanyian penggembira seorang penegak hukum, yang mungkin karena hanya untuk mengejar target. Karena faktanya, gebrakan pemberantasan korupsi yang ditabuh para Kajati Sultra terdahulu mulai semasa Antasari Azhar sampai Timbang Hutahuruk, tampaknya harus macet. Kabarnyapun jadi tenggelam, seiring dengan berjalannya waktu.
Sultra yang selama ini seolah menjadi “suratan takdir” sebagai daerah yang tergerus oleh kasus-kasus korupsi, tampak bahwa penanganan korupsi di daerah ini sudah terlalu jelimet dan ibarat lingkaran setan, selama beberapa kali pergantian Kajati, penanganan kasus-kasus korupsi sepertinya tak pernah tuntas alias beberapa di antaranya terpaksa macet di tengah jalan.
Tidak tuntasnya beberapa penanganan kasus korupsi di tanah air, dengan mengambil ilustrasi daerah Sultra, bila dilakukan pengkajian analitis secara empirik, menurut penulis, sangat mungkin lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor fundamental yang ini lebih bersifat paradigmatik ketimbang bersifat pragmatis semata. Faktor-faktor fundamental inilah yang kemudian berpengaruh cukup signifikan terhadap konfigurasi format serta struktur yang menopang sistem hukum kita yang kemudian berimplikasi tidak cukup kuatnya sistem hukum di negeri ini untuk mengeleminir berbagai tindak pidana korupsi yang makin mengkerat.
Faktor-faktor fundamental dimaksud, yang dapat diperinci antara lain, pertama: landasan substansial pasal-pasal Undang-undang Anti Korupsi di negeri ini yang tampak masih ambigu (standar ganda), malah beberapa pasalnya membuka ruang interpertasi yang bersifat debatable sehingga membuka peluang banyak pihak berkepentingan untuk diloloskan dari jeratan tindak pidana korupsi. Sebagai misal Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, yang sampai sekarang masih menjadi instrumen yuridis, dalam konteks “lex specialis”, untuk memberantas tindak pidana korupsi di tanah air. Terdapat beberapa pasal tertentu, yang menurut penulis cukup krusial serta jadi kendala terutama bagi aparat penegak hukum untuk mengkerangkeng pejabat negara atau orang-orang dekat seputarannya yang diduga menguras uang rakyat. Contoh, Pasal 37 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 dengan kata-kata “...Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi...”, selanjutnya kata-kata “...Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti...”
Kata-kata hukum tersebut, boleh jadi justeru menjadi pamungkas para oknum penilep uang negara mencari celah hukum untuk lolos dari jeratan tindak pidana korupsi. Soalnya, sangat besar kemungkinan bagi tersangka untuk melakukan “kongkalikong” pun juga menyewa seorang analis keuangan profesional yang dengan rekayasa teknik penyusunan anggaran keuangan yang barangkali cukup masuk akal untuk menyatakan anggaran negara yang digunakan, bukanlah kategori korupsi. Atau juga dengan teknik penyusunan administratif keuangan yang cukup masuk akal untuk meloloskan oknum pejabat tertentu dari jeratan sebagai aktor intelektual (pelaku utama) penilep uang negara, kemudian sebagai gantinya ada pihak-pihak yang harus dijadikan sebagai “tumbal” guna menyelamatkan “invisible hand”, tangan-tangan tersembunyi aktor intelektual dimaksud dari jerat tindak pidana korupsi.
Menurut penulis, argumentasi tersebut bisa diterima, apalagi dengan mencermati kualitas alat bukti petunjuk yang bisa dijadikan dalil untuk mengkerangkeng seseorang sebagai pelaku tindak pidana korupsi, satu-satunya hanya alat bukti bersifat formil bukan berdasarkan alat bukti materil yaitu dengan melihat kenyataan sesungguhnya, seperti antara lain pada proyek-proyek fisik yang macet pengerjaannya lantaran duit proyek sudah terlanjur ditilep. Ataukah dengan melihat secara materil pada kenyataan profit (baca keuntungan dalam bentuk gaji, honor, tunjangan, uang terima kasih dalam kapasitas sebagai pejabat atau penanggung jawab proyek) yang diterima seseorang atau oknum tertentu, pada saat berstatus sebagai pejabat negara atau penanggung jawab proyek, yang sungguh sangat tidak logis bila dibandingkan dengan limpahan harta kekayaan yang diperolehnya, yang malah sampai pada digit mendekati milyaran rupiah.
Inilah musabab persoalannya, satu-satunya alat bukti petunjuk yang ditetapkan undang-undang anti korupsi untuk mengkerangkeng seseorang telah melakukan tindak pidana korupsi, yaitu alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan dokumen, berupa rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dan dibaca.
Padahal galibnya, boleh jadi terdapat alat bukti petunjuk lain yang bisa digunakan aparat penegak hukum, sebagaimana yang telah penulis urai pada paragraph awal, cukup sebagai dugaan kuat untuk mencekok seorang pejabat, telah terlibat tindak pidana korupsi.
Pengalaman pemberantasan tindak pidana korupsi di negeri ini, menunjukkan kalau alat bukti petunjuk yang dimaksud dalam Pasal 26 A Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, dapat menjadi mentah dengan alasan yuridis bahwa itu tidak ada hubungannya dengan pokok perkara. Disinilah yang menurut penulis merupakan kelemahan dari alat bukti formil tersebut. Terbukti dalam skandal korupsi Bulug Gate dan dana-dana yayasan milik keluarga Soeharto, yang tidak cukup ampuh untuk menjerat pelakunya sebagai biang korupsi uang negara.
Kedua, sanksi pidana yang terkandung dalam undang-undang anti korupsi 2001, belum sepenuhnya memberikan efek jera bagi para pelaku korupsi ataupun memberikan rasa takut orang yang mencoba-coba mengkorup uang negara. Undang-undang anti korupsi menyebutkan sanksi pidana paling tinggi bagi seseorang yang mengkorup uang negara, yaitu penjara seumur hidup dan denda satu milyar rupiah. Realitas penjara di tanah air yang konon mengkerangkeng orang-orang berpengaruh katakanlah mantan pejabat, jarang sampai pada ambang 20 tahun, kalaupun itu toh terjadi, biasanya yang bersangkutan akan mendapat kompensasi remisi hukuman penjara, yang bisa diberikan malah sampai tiga kali dalam satu tahun. Begitupun denda satu milyar, jarang sampai dapat diterapkan oleh pengadilan kalaupun itu terjadi maka terdakwa koruptor bisa mengkalkulasi uang denda yang sampai tidak merugikannya, apalagi digit uang yang dikorup sampai pada bilangan puluhan milyar lebih. Inilah persoalannya, sanksi pidana korupsi di negeri ini belum cukup memberikan rasa jera bagi para koruptor dan calon koruptor. Kita bisa melihat contoh, kenapa Cina dan Korea berhasil meminimalisir angka korupsi, salah satu faktornya adalah sanksi pidana mati siap menghantui para pelaku tindak pidana korupsi.
Ketiga, perebutan lahan siapa lembaga hukum yang paling berwewenang menangani tindak pidana korupsi masih mentradisi di negeri ini. Sungguh menggelikan ketika Presiden SBY beberapa waktu lalu dirisaukan oleh rebutan perkara antara KPK dengan Kejaksaan, ataupun antara KPK dengan lembaga kepolisian. Ada kecurigaan sebahagian kalangan kalau rebutan perkara itu dipicu oleh kepentingan untuk melindungi siapa ataupun balas dendam kepada siapa, atau mungkin juga rebutan perkara dilatarbelakangi oleh gengsi institusi. Persoalan rebutan perkara inilah, yang akhirnya memperlambat prosedur penyelesaian perkara pidana korupsi belakangan ini.
Jadi dapat disimpulkan bahwa problematika pemberantasan korupsi yang kemudian makin membingungkannya penegakan hukum di negeri ini, sebetulnya antara lain ditenggarai oleh tiga faktor fundamental tersebut, lalu ditambah dengan makin keroposnya paradigma ideologi hukum yang menyangga sistem penegakan hukum kita yang lebih berorientasi pragmatisme. Padahal sejatinya, keberadaan penegakan hukum dalam sebuah kehidupan masyarakat, mestinya mampu memberikan keadilan holistik yang sesuai fitrah serta memuaskan logika hukum kita secara keseluruhan. (***)

Tulisan Tentang Korupsi di Indonesia

Catatan Hukum
Janji Abraham Samad
Oleh: Muh Sjaiful SH MH
Dosen Fakultas Hukum Unhalu

Abraham Samad atau dulu ketika masih sama-sama “kongkow” di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, kami biasa menyapanya dengan “openg gondrong”. Teman-teman satu angkatan saya dulu memanggilnya “Openg Gondrong”, karena ciri khas Abraham Samad sejak semester satu sampai semester akhir kuliah di Fakultas Hukum Unhas, memelihara rambut panjang yang dikuncir sampai punggung. Dan tahun 1999, ketika saya bertemu Abraham Samad di Makassar, ia sudah menjadi advokat yang cukup populer, yang berbeda juga adalah ciri khas kegondrongannya sudah tidak ada lagi, rambutnya dipotong pendek klimis.
Kini gemintang Abraham Samad menjadi bersinar, cukup mengejutkan, putra asal Makassar itu menang telak, berhasil menjadi pucuk pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam voting pemilihan Ketua KPK yang digelar Komisi III DPR RI, tak tanggung-tanggung ia menyisihkan nama-nama besar sekaliber Bambang Widjajanto, advokat senior dan Busyro Muqqaddas, mantan Ketua KPK.
Yang cukup mengejutkan adalah Abraham Samad, berani mempertaruhkan jabatanya, mundur sebagai Ketua KPK bila dalam satu tahun ia tidak berhasil menuntaskan kasus-kasus besar korupsi, sebutlah misalnya skandal Bank Century.
Barangkali janji Abraham Samad untuk mundur sebagai Ketua KPK bila ia gagal dalam melaksanakan tugas memberantas korupsi di Indonesia merupakan magnet terbesar yang menjadi harapan bagi setiap warga negara Indonesia. Namun ada beberapa hal yang hendak saya sampaikan buat Abraham “Openg” berkenaan dengan pengalaman bangsa ini menghadapi kasus-kasus mega korupsi yang merampok uang rakyat dari yang bermilyar-milyar hingga triliunan rupiah.
Kasus korupsi atau tepatnya perampokan uang rakyat yang banyak melibatkan politisi besar di negara ini, sejak dulu merupakan lingkaran setan yang begitu sulit untuk dicari ujung keluarnya. Kebanyakan kasus mega korupsi, taruhlah semisal kasus Bank Century, kasus Nazaruddin cs, mantan Bendahara Partai Demokrat, dan masih banyak lagi, selalu kandas oleh sebuah “grand design” tekanan politik yang cukup tinggi. Betapa tidak, banyak orang di negeri ini yang menaruh kecurigaan cukup besar, ketika sederet orang yang menakhodai KPK “tidak cukup tenang bekerja” membongkar dedengkot pelaku utama perampokan uang rakyat. Sebutlah misalnya, Antasari Azhar yang harus dicekok duluan dengan tuduhan berkonspirasi melakukan pembunuhan ataukah kasus Bibit-Chandra yang menjadi tumbal untuk mengadu domba KPK versus Kepolisian-Kejaksaan.
Belum lagi kasus Susno Duadji, seorang perwira tinggi kepolisian yang terpaksa harus mendekam dalam kerangkeng lebih dahulu, ia tidak sempat membuka borok korupsi yang melanda negeri ini. Yang teranyar, Waode Nurhayati, politisi asal Sultra, yang harus dijebak duluan, dituding terlibat penyalahgunaan anggaran, sebelum wanita berkerudung itu membuka tuntas mafia anggaran yang konon menurut Waode, telah menggerogoti Badan Anggaran DPR RI.
Jadi apa sebetulnya persoalan mendasar kasus korupsi yang harus dihadapi oleh Abraham Samad?
Secara dogmatik, memang tidak sulit untuk meringkus para koruptor di negeri ini, bila seseorang menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Korupsi, baik secara materil maupun formil, telah terbukti menyalahgunakan uang negara untuk kepentingan pribadi, maka tidak ada keraguan lagi untuk mencokok yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi.
Begitu juga, seseorang yang terbukti menyogok orang lain agar mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan amanah jabatannya, menurut Undang-Undang Anti Korupsi, baik penyogok maupun menerima sogok, pantas pula disebut koruptor.
Persoalannya kini, mencokok seseorang dengan tuduhan melakukan tindak pidana korupsi, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Sebab mental orang Indonesia ketika sudutkan telah menilep uang negara, tidak mau “legowo” untuk menerima status sebagai tersangka pelaku korupsi, meski kemungkinan besar sejumlah alat bukti sudah mengarah kepadanya. Apalagi kalau yang dituding itu memiliki jejaring yang sangat dekat dengan kekuasaan.
Itulah barangkali sebabnya menurut saya, telalu sulit membongkar kasus-kasus korupsi kelas kakap di negeri ini, yang sebetulnya jadi taruhan bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di bawah komando Abraham Samad. Ia sebagai pimpinan KPK, harus berhadap-hadapan “vis a vis”, karena problematika korupsi di negeri ini bukanlah semata persoalan individual tetapi lebih dari itu adalah persoalan yang sifatnya sistemik dan paradigmatik.
Memang betul, penegakan hukum di negeri memerlukan orang bernyali besar yang tidak hanya cerdas. Tapi faktanyanya, segelintir orang cerdas dan berani di negeri ini, terpaksa harus terjebak dalam sebuah lingkaran setan yang ia sendiri tidak bisa berbuat banyak membongkar kasus korupsi baik kelas teri maupun kelas kakap.
Mengapa demikian? Sebabnya, bangsa ini tengah menghadapi anomali hukum. Yaitu sebuah istilah untuk menjelaskan realitas penegakan hukum bangsa ini yang memang sejatinya tidak berkomitmen menghargai standar-standar normatif dan dogmatik hukum. Hukum berstandar dogmatik dan normatif hanya dalam wacana para akademisi hukum tetapi malangnya dalam tataran praktik, pertimbangan politik dan pertimbangan ekonomi ikut-ikutan mengintervensi dunia hukum.
Padahal dunia hukum, menurut para akademisi hukum, adalah dunia hitam putih, abstraksinya adalah normatif. Hukum sebagai suatu sistem nilai, wilayahnya bukanlah wilayah kompromistis apalagi wilayah yang harus ditafsirkan sebagai sesuatu yang harus dibijaksanai berdasarkan kepentingan tertentu.
Anehnya negeri ini, konon ada orang yang sudah terbukti memenuhi unsur melakukan tindak pidana korupsi, dan seharusnya masuk kerangkeng. Namun karena ada banyak pertimbangan politik dari jejaring kekuasaan, sehingga yang bersangkutan dicari-cari alasan pembenar untuk tidak dikualifikasikan sebagai koruptor.
Jadi kita tidak usah kaget, menyaksikan sandiwara hukum yang membuat frustasi banyak orang di negeri ini, ketika syahdan beberapa diantara tersangka pelaku korupsi tampaknya masih melenggang bebas belum terkena sanksi hukum. Dengan mengatasnamakan asas praduga tak bersalah, para tersangka, memiliki imunitas dan keistimewaan khusus agar tidak tersentuh hukum.
Inilah seharusnya menjadi inspirasi dan kontemplasi Abraham Samad dalam rangka menggiatkan KPK menangkap para begundel yang menghisap uang rakyat. Para begundel itu, tidak berjalan sendirian, mereka sebetulnya masih terproteksi oleh sebuah sistem yang menggaransi para penilep uang rakyat untuk kebal terhadap hukum.
Sebab ada kesalahan terbesar telah meracuni proses penegakan hukum di negeri ini, terutama yang terkait dengan pemberantasan tindak pidana korupsi. Bila seseorang yang tersandung kasus korupsi, punya jejaring politik cukup kuat dengan lingkaran kekuasaan, maka ada banyak penafsiran politik dan sosiologis yang harus digunakan sebagai alasan pembenar untuk mengurai bahwa yang bersangkutan tidak cukup bukti untuk disebut pelaku tindak pidana korupsi.
Hukum tetaplah hukum, ia merupakan satu sistem nilai. Hukum sejatinya tidak boleh ditarik dalam kutub penafsiran yang keluar dari intristik nilai-nilai, yang dibangun atas dasar argumentasi logika hukum itu sendiri, seperti keadilan, ketertiban, dan pergaulan hidup damai. Apalagi bila justeru nilai-nilai hukum itu sendiri sampai dielaborasikan kepada kepentingan pragmatis dan materialistik.
Kini tantangan terbesar bagi Abraham Samad, adalah menghadapi para Mafioso di negeri ini yang terlanjur begitu kuat membentuk sebuah jejaring yang justeru makin menumbuhsuburkan budaya korupsi. Karena bagaimanapun juga, pemberantasan korupsi hari ini, bukanlah perkara yang mudah. Menjadikan hukum sebagai “panglima” dalam kerangka untuk menempatkan komitmen pemberantasan korupsi tidaklah cukup.
Karena hukum hanya akan berdaya efektif memberantas para pencoleng uang rakyat apabila hukum sebagai sistem nilai tegak pada sebuah sistem yang menggaransi adanya ketegasan sanksi kepada siapapun tanpa memandang yang kuat dan yang lemah. Kemudian ada dukungan aparat pemerintah dan penegak hukum yang bersih hati dan pikirannya untuk tetap komitmen hanya mau menerima harta halal yang bebas dari unsur korupsi.

Jumat, 09 April 2010

Tulisan Terbaru Mafia Kasus

Mafia Hukum Dibalik Skandal Pajak
Oleh: Muh Sjaiful SH MH
Dosen Fakultas Hukum Unhalu
Setelah skandal Bank Century mencoreng dunia penegakan hukum di tanah air. Lagi-lagi kita dikejutkan dengan skandal penggelapan dana pajak yang melibatkan Gayus Halomoan P Tambunan, seorang pegawai pajak berstatus golongan III/a. Modus operandi penggelapan dana pajak ala Gayus dibeber secara gamblang oleh salah seorang petinggi Polri, Komjen Susno Duadji, mantan Kabareskrim Polri. Jumlah dana pajak yang digelapkan, sangat fantastis, mencapai digit 28 milyar rupiah. Malah, Susno Duadji, secara berani menuding ada sejumlah perwira polisi yang jadi “becking” penggelapan dana pajak yang memang tidak kepalang tanggung besarnya itu.
Kalau saat ini, ada beberapa jendral dan petinggi kepolisian lainnya termasuk jaksa yang sudah berstatus terperiksa dan tersangka dalam kasus pengemplangan dana pajak yang sangat menggegerkan itu, maka tentu secara normatif, bisa dibilang Gayus Tambunan tidak bekerja sendirian. Artinya, Gayus sudah berada pada posisi lingkaran melakukan tindak pidana secara berjamaah, dengan berlapis tuduhan, korupsi, penggelapan, dan pencucian uang (money laundry).
Istilah melakukan tindak pidana berjamaah yang penulis gunakan ini, dalam logika sistem hukum pidana kita, dikenal dengan sebutan “penyertaan melakukan tindak pidana” (deelneming). Kaidahnya diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHPidana yang secara sederhana merumuskan kualifikasi kejahatan yang dilakukan secara bersama-sama.
Kedua pasal tersebut, lalu membagi kategori pelaku kejahatan, yaitu orang yang menyuruhlakukan lahirnya kejahatan dan orang yang turut serta melakukan perbuatan. Dari sini kemudian dapat dipilah, ada orang yang bertindak sebagai pelaku intelektual (doen plegen) dan yang turut melakukan perbuatan (medeplegen).
Jadi sesungguhnya aroma tindak pidana berjamaah menurut kaidah Pasal 55 dan Pasal 56 KUHPidana, dapat dipastikan menyengat dalam skandal pengemplangan pajak yang menyeret Gayus Tambunan, staf biasa Golongan III/a pada Ditjen Pajak. Tentu pembuktian siapa saja orang-orang yang berkomplot dalam skandal pajak, sangat tergantung “nyanyian” pengakuan Gayus sendiri. Memang satu-satunya alat bukti paling valid selain alat bukti petunjuk yang ada, untuk mengungkap siapa pelaku utama yang jadi sutradara di balik mega kasus tindak pidana pengemplangan duit pajak yang menghebohkan, adalah pengakuan Gayus sendiri.
Pada sudut pandang yang lain, fenomena Gayus di balik skandal pajak, merupakan salah satu ilustrasi buruknya potret penegakan hukum kita sekarang. Ibarat kentut meski tidak terlihat kasat mata tetapi bau busuknya sudah menyengat kemana-mana. Mafia hukum di balik skandal pajak sebetulnyamerupakan fenomena “gunung es”, yang boleh jadi masih banyak berseliweran mafia hukum lainnya dengan modus operandi beraneka ragam dalam blantika penegakan hukum di tanah air.
Jadi secara sosiologis dengan menggunakan teori pendekatan sistem versi Talcott Parsons, pemberantasan mafia hukum di tanah air sampai ke akar-akarnya memang tidak bisa dilakukan hanya dengan cara parsial, individualistik, dan sepotong-sepotong. Masalahnya seperti yang dikemukakan Talcott Parsons, hukum merupakan bahagian dari sebuah sistem kehidupan dimana semua aspek terkait di dalamnya baik secara langsung maupun tidak langsung, terutama aspek politik, aspek ekonomi, dan aspek ideologi yang menjadi penyangganya.
Kata Keynes, seorang pakar ekonomi kapitalisme, bahwa drama kehidupan manusia dalam kehidupan masyarakat, bukanlah berjalan di sebuah ruang hampa yang kosong, tetapi ia akan sangat tergantung pada ideologi yang menyangganya. Kata Keynes ketika terjadi kebobrokan dalam panggung kehidupan masyarakat maka tentu kita harus kembali menengok pada sistem-sistem yang menjadi penyangganya.
Kalau asumsi kedua pakar barat tersebut kita jadikan acuan argumentatif untuk memberangus mafia hukum di tanah air mulai dari kelas teri sampai kelas kakap sekalipun maka memang harus terpulang pada sebuah sistem yang masih menggaransi permainan bulus untuk berkongkalikong memperalat hukum guna kepentingan-kepentingan syahwat kekuasaan dan materi. Inilah biang keladinya, menurut penulis yang sampai hari ini, betapa sulitnya memberangus mafia hukum yang masih berseliweran.
Apalagi asas dalam hukum acara di tanah air masih membolehkan bagi setiap orang yang berperkara di pengadilan harus dipungut biaya. Inilah salah satu asas yang sangat tidak disetujui penulis, lantaran asas ini pula yang berpotensi membuka peluang bagi setiap orang untuk memperjual belikan hukum dengan dalih asas keharusan berperkara dikenakan biaya. Ini salah satu contoh dari masih terdapatnya instrumen hukum di negeri ini yang malah memperburuk sistem penegakan hukum kita.
Jadi tumbuh suburnya mafia hukum di negeri ini, persoalan pokoknya pada sistem hukum yang konfigurasinya sebahagian notabene masih produk kolonial Belanda, yang penulis maksud adalah sistem hukum yang masih menumbuhsuburkan keserakahan terhadap materi, gaya hidup mewah, dan berburu jabatan alias kekuasaan. Jelas, sistem hukum warisan produk kolonial Belanda, adalah sistem dimana masih terkooptasi dengan mental matarialistik.
Bisa dibuktikan ketika kita masih menyaksikan para petinggi hukum di negeri ini, sebut misalnya salah seorang hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang kedapatan KPK menerima suap yang lumayan besarnya, 300 juta rupiah!!! Mungkin saja masih ada sebahagian aparat penegak hukum kita yang rela menjajakan martabatnya demi segepok uang.
Mafia hukum ala Gayus barangkali akan berlanjut dengan episode “sinetron” hukum di negeri ini dengan modus yang lain. Betapapun kisah mafia hukum di negeri yang “gemah ripah loh jinawe” ini yang kini berlanjut dalam episode skandal pajak ala Gayus, merupakan buah dari sistem hukum yang paradigma penyangganya sudah lapuk dan usang. Karena Gayus tidak bekerja sendirian, ia adalah jabang yang kelahirannya dibidani secara keroyokan dan berkomplot.
Jadi tugas Satgas Mafia Hukum untuk menggerus bibit mafia hukum sampai ke akar-akarnya di negeri tercinta ini tidak hanya dengan mencokok person-person yang turut mengambil andil mengangkangi hukum. Tetapi yang terpenting adalah mengeluarkan sebuah rekomendasi penting kepada para stakeholder di negeri ini berupa agenda untuk menata kembali secara revolusioner sistem penegakan hukum kita yang materialistik menuju sistem hukum yang lebih memberikan rasa keadilan dan menjamin persamaan hukum bagi setiap warga negara yang memberikan jaminan Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana yang wajib termaktub dalam semua keputusan hakim pengadilan di negeri ini.
Ada pertanggungjawaban ilahiah dan sistem hukum yang menjadikan setiap orang terdapat perasaan berdosa ketika mengangkangi hukum atau mencuri harta negara alias merampok uang rakyat. Bukan sebuah sistem hukum yang justru hanya berpihak pada orang-orang berduit dan punya kekuasaan.
Sabda Agung Nabi Muhammad SAW, “ Tanda kehancuran suatu negeri adalah tatkala pelanggaran hukum dilakukan orang-orang yang berkuasa dan berduit, maka hukum tidak ditegakkan, namun bila orang-orang lemah dan tidak punya uang melakukan pelanggaran hukum, maka hukum baru ditegakkan”. (*)

Rabu, 16 Desember 2009

Surga Para Koruptor

KPK vs Kepolisian dan Kebenaran Hukum
Oleh: Muh Sjaiful SH MH
Dosen Fakultas Hukum Unhalu
Boleh dibilang sangat tragis. Dunia penegakan hukum negeri ini bercoreng noda. Gara-garanya, dalam Sidang Mahkamah Konstitusi 3/11 lalu yang menggelar gugatan uji materil Undang-Undang KPK, terungkap konspirasi jahat beberapa petingi hukum yang konon untuk mengkriminalisasi KPK dengan modus menahan dua pimpinan non-aktif KPK, Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah melalui tuduhan keduanya terlibat pemerasan. Konspirasi jahat terungkap melalui rekaman percakapan antara Anggodo Widjojo dengan Ong Yuliana Gunawan. Dan sungguh mengejutkan, isi rekaman percakapan yang diperdengarkan hampir seantero negeri melalui siaran televisi yang juga diperdengarkan di hadapan Ketua Mahkamah Konstitusi, Professor Mahfud MD, telah menyeret-nyeret nama Wisnu Subroto (Mantan Jaksa Agung Muda Bidang Intelejen), Abdul Hakim Ritonga (mantan Wakil Jaksa Agung), Komjen Susno Duaji (mantan Kabareskrim Polri), sebagai pihak-pihak yang turut andil dalam upaya mengkriminalisasi KPK.
Rekaman isi percakapan yang membuka borok prilaku petinggi hukum, seolah memperbenar sinyalemen banyak orang, kalau sistem hukum negeri ini masih terjebak mafia peradilan dan cara-cara kotor, terutama berkenaan dengan pengungkapan kasus-kasus hukum, misalnya pada perkara perampokan uang negara alias korupsi, yang menyeret-nyeret nama orang penting di negeri ini.
Ibarat orang yang kebakaran jenggot, heboh rekaman percakapan tersebut, tentu akan banyak pihak yang tersudutkan, apalagi itu sampai melibatkan institusi negara penegak hukum yang malah sampai mencatut lembaga kepresidenan. Meskipun, faktanya pasti ada pihak-pihak yang harus tersudutkan, namun sesungguhnya itu adalah persoalan lain. Tetapi ada satu hal yang memang menjadi prinsip yang harus ditegakkan dalam setiap kasus-kasus hukum yang menguak, yaitu soal kebenaran hukum. Secara dogmatis, kebenaran hukum yang dimaksud adalah kebenaran untuk mengungkap siapa sesungguhnya dianggap terbukti bersalah dalam sebuah kasus hukum serta pertanggunggungjawaban hukum apa yang harus ditanggung oleh pelaku yang terbukti bersalah itu.
Secara akademis, soal mengungkap kebenaran hukum, tentu harus berjalan berdasar tata cara atau prosedur hukum yang secara normatif diberlakukan, yaitu melalui prosedur hukum yang dikenal dengan nama prosedur hukum acara. Baik itu dalam tataran perkara hukum publik maupun perkara hukum privat.
Pada perseteruan KPK versus Kepolisian yang kemudian berbuntut dari penahanan dua pimpinan non-aktif KPK hingga gugatan uji materil Pasal 32 huruf c Undang-Undang KPK ke Mahkamah Konstitusi, maka benang merah dibalik perseteruan itu, sesungguhnya hanya ada 2 (dua) soal kebenaran yang harus dikuak. Pertama: Betulkah ada upaya pihak-pihak tertentu untuk melakukan kiriminalisasi alias pelemahan kepada KPK? Kedua: Betulkah Bibit Slamet Rianto dan Chandra M Hamzah, ditenggarai turut terlibat melakukan pemerasan?
Berkenaan dengan tahapan prosedur hukum yang harus ditempuh dalam kerangka menguak dua soal kebenaran hukum dimaksud, maka ada tahapan krusial yang harus diperhatikan, yaitu yang disebut dengan tahapan pembuktian serta kualitas alat bukti yang diperlukan. Pada bahagian ini, penulis tidak akan berpretensi terlibat terlalu jauh dalam perdebatan hujat menghujat salah satu dari perseteruan cicak versus buaya. Penulis hanya berkehendak menganalisis dasar legitimasi keberadaan alat bukti yang digunakan untuk menguak dua soal kebenaran hukum tersebut.
Pertama, betulkah ada upaya kriminalisasi terhadap institusi KPK? Menguak kebenaran soal ini, Bibit Slamet Rianto dan Chandra M Hamzah telah menempuh prosedur hukum dengan mengajukan gugat materil terhadap Pasal 32 huruf c Undang-Undang KPK, ke Mahkamah Konstitusi. Ketika gugatan ini digelar, Bibit dan Candra mengajukan alasan yuridis melalui kuasa hukumnya, kalau keberadaan Pasal 32 huruf c UUKPK justru bisa menjadi legitimasi untuk melakukan pelemahan (baca kriminalisasi) terhadap KPK oleh pihak-pihak tertentu yang berkepentingan. Atas dasar inilah, pihak kuasa hukum Bibit dan Candra, meminta kepada pihak MK untuk dipedengarkan cakram rekaman hasil pembicaraan Anggodo dengan beberapa petinggi hukum yang secara substansi mengarah pada upaya kriminalisasi kepada MK.
Secara hukum acara, merujuk Pasal 36 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Nomor 24 Tahun 2003, alat bukti rekaman yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk mendalilkan suatu argumentasi hukum, memang dapat dibenarkan, sebab pasal ini telah mencantumkan kata-kata... “alat bukti ialah antara lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu...”. Juga terdapat kata-kata dalam pasal ini yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi menentukan sah atau tidak sahnya alat bukti dalam persidangan
Jadi secara normatif, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi mengatur kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menetapkan sah atau tidaknya alat bukti dalam persidangan. Inilah yang kemudian bisa dibenarkan ucapan Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi, bahwa alat bukti rekaman bisa saja relevan dengan untuk mendalilkan terhadap apa yang menjadi argumentasi hukum dalam mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi.
Sebetulnya cukup dengan pasal tersebut, harusnya bisa dipahami oleh semua pihak berperkara, bahwa secara prosedur hukum (baca hukum acara), Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan hukum absolut, untuk menilai semua alat bukti apapun jika dikehendaki oleh Mahkamah Konstitusi, jika itu menurut pendapat majelis hakim konstitusi relevan dengan objek sengketa.
Kedua, betulkah Bibit Slamet Rianto dan Chandra M Hamzah, terlibat dalam pemerasan sejumlah uang terhadap Anggoro Widjojo? Untuk menguak kebenaran hukum ini, memang merupakan ranah tugas dari pihak kepolisian dan kejaksaan. Sebab ini dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana (delik), yang secara prosedur hukum, menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, adalah tugas kepolisian untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap dugaan terjadinya suatu suatu peristiwa pidana.
Dalam konteks hukum acara pidana, mendalilkan seseorang melakukan suatu perbuatan pidana, baik dalam tataran penyelidikan maupun penyidikan, KUHPidana mengatur perlunya sejumlah alat bukti sebagai dalil untuk mengungkap kejelasan dan kebenaran siapa pelaku kejahatan/pelanggaran. Untuk itu, pasal 184 ayat 1 KUHPidana, telah mengatur alat bukti yang dapat digunakan secara sah yaitu: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Jika saja kepolisian hendak menjerat Bibit dan Chandra, telah melakukan pemerasan terhadap Anggoro, maka pihak penyidik Polri mestinya juga bisa melakukan verifikasi serta menguji kualitas alat bukti yang dapat membuat terang dan dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis, bahwa telah terjadi delik (tindak pidana) pemerasan.
Kalau kita menelisik perseteruan KPK versus Kepolisian, terkesan seperti telah terjadi adu kuat, yang bagi masyarakat luas (kalangan publik), terlihat pada permukaan ada upaya untuk saling melakukan kriminalisasi.
Menurut pendapat penulis, dalam perspektif akademis, perseteruan KPK versus Polri merupakan satu keniscayaan dari paradigma hukum dalam kondisi masyarakat pragmatis dimana hukum tidak bisa dilihat dalam spektrum yang normatif an sich. Artinya, postur hukum dalam kondisi demikian tidak tunggal sifatnya, meski hukum merupakan norma yang tertuang dalam teks-teks mati tetapi teks penerjemahannya dalam realitas sosial, ia akan selalu tergantung dari siapa yang berkepentingan. Itulah takdir dari sebuah postur hukum yang pijakan normatifnya lahir dari hasil sebuah kompromi politik dari kelompok elitis, yang implikasinya, kalau isi produk hukum tidak menimbulkan persoalan hukum yang bersifat “debatable” maka barangkali dalam tataran praktis penerapannya bakal menjadi bandul yang bergoyang kearah tergantung pada sudut pandang siapa yang berkepentingan.
Sekali lagi mari kita telisik pada perseteruan KPK versus Kepolisian. Tampaknya arus kuat publik dan kelompok media massa lebih berada pada kubu KPK, ini terlihat dari opini yang berkembang di media massa serta dukungan di dunia maya melalui “facebook” yang berderak mensupport KPK, sementara pihak kepolisian terlanjur diadili sebahagian besar publik dalam posisi pesakitan.
Mengapa itu terjadi? Fenomena semacam ini mungkin bisa dijawab ketika realitas publik sudah semakin muak dengan kondisi penegakan hukum kita yang makin akut dengan prilaku hukum para penegaknya yang masih sering mempermainkan hukum. Apalagi penanganan kasus-kasus korupsi kelas kakap yang tak kujung selesai. Maka klimaksnya, publik kemudian ramai-ramai menghujat lembaga kepolisian sebagai representasi garda terdepan penegakan hukum di negeri ini, yang barangkali menurut persepsi masyarakat turut andil menciptakan borok dalam realitas penegakan hukum saat ini.
Namun menurut penulis, bobroknya sistem peradilan saat ini, kita tidak bisa melihatnya dari sudut pandang menyalahkan lembaga kepolisian semata. Secara fundamental, tampaknya kita seharusnya merekonstruksi wajah sistem hukum kita yang sejak dulu masih terkontaminasi kepentingan-kepentingan pragmatis dan materialistik. Sehingga nilai-nilai hukum tidak lagi dilihat dari sudut pandang yang lebih bisa menjamin keadilan, kemanfaatan hukum, dan kepastian hukum warga masyarakat yang dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan kelak.